Pages

Labels

Senin, 11 Mei 2015

Politik, Negara, dan Demokrasi dalam Perspektif Islam


Penjajahan barat terhadap berbagai negeri Islam sedikit banyak telah merubah pandangan masyarakat Islam tentang posisi agama. Sebagai ekspresi barat selama berabad-abad berada di bawah kungkungan dogmatisasi gereja dalam masa yang disebut Age of Darkness in Europe. Bagaimanapun, penjajahan telah berhasil menciptakan beberapa kelompok orang yang menyakini bahwa agama tidak punya tempat dalam mengarahkan dan menata negara. Contoh praktis yang paling menonjol untuk itu adalah negara sekuler pertama yang didirikan oleh Kemal Attaturk di Turki, hal itu terjadi setelah keruntuhan kerajaan Ottoman yang merupakan kekuatan politik dominan Islam masa itu.
Dalam Islam tuntutan paling mendasar dari konsep politik dan kepemimpinan adalah kewajiban untuk menjaga amanat dan menjalankan pemerintahan yang adil. Bila amanat dan keadilan disia-siakan, maka umat akan binasa dan negeri akan hancur.
Yusuf Al Qardhawy menulis dalam Fiqh Negara; “terdapat puluhan hadits shahih yang berbicara tentang kekuasaan, pemerintahan, pengadilan, dan kepemimpinan; tentang karakter para pemimpin dan penguasa, kewajiban mereka dalam memerintah dan mendukung kebenaran, kewajiban rakyat untuk memenuhi pemimpin dalam keadaan rela dan terpaksa, serta sabar terhadap mereka; tentang batats-batas ketaatan dan kesabaran itu; tentang pembatasan tugas-tugas mereka dalam melaksanakan hudud (batas-batas) Allah; tentang perlindungan terhadap rakyat, bermusyawarah dengan kalangan intelektual, memberi jabatan kepada mereka yang pantas dan jujur, mengambil teman yang baik, mendirikan shalat, mengeluarkan zakat, amar ma’ruf nahi mungkar, dan berbagai hal penting lainnya berkaitan dengan persoalan negara, pemerintahan, administrasi dan politik”.
Dari paparan Qardhawy tersebut penulis menginterpretasikan bahwa dalam ajaran Islam konsep kepemimpinan sosial secara alamiah sudah menjadi bagian dari Islam itu sendiri, kepemimpinan itu dipadukan dengan nilai-nilai ketuhanan yang ada dan merupakan bagian tak terpisahkan dari Islam itu sendiri. Menepis keraguan bahwa Islam sekedar seperangkat agama spiritual. Senada dengan yang disampaikan oleh Hasan Al-Banna dalam Majmuatur Rasail yang penulis paparkan di awal. Oleh sebab itu Islam sering diidentikkan sebagai sebuah sistem dan perangkat; pedoman dan petunjuk; nilai dan norma universal; bagi manusia sesuai dengan fitrahnya sebagai makhluk ciptaan tuhan.
Lanjut Qardhawy dalam bukunya: karena itu kita melihat bahwa berbagai persoalan kepemimpinan dan kekuasaan dinukilkan dalam buku-buku aqidah dan ushuluddin. Di samping itu, kita juga melihat bahwa persoalan-persoalan tersebut juga dinukilkan dalam buku fiqih dan dalam buku-buku yang khusus menelaah dasar-dasar negara, administrasi, pengadilan, keuangan, dan politik, seperti buku; “al-Ahkam al-Sulthaniyah” (Tatanan Kekuasaan) oleh Imam Mawardi; “Al-Ghiyatsi” karangan Imam Haramain; “Kebijaksanaan Syari’at” oleh Ibnu Taimiyah; “Tharir al-Ahkam” oleh Ibnu Jama’ah; “al-Kharaj” oleh Abu Yusuf dan buku yang sama karangan Yahya bin Adam; “al-Amwal” oleh Abu ‘Ubaid; serta buku-buku lainnnya yang disusun sebagai referensi bagi para penguasa dan hakim, seperti buku “ath-Thuruq al Hukumiyah”, “at-Tabshirah”, “Mu’minul Hukam”, dan seumpamanya.
Sejarah Islam memberitahukan kepada kita bahwa Nabi Muhammad SAW mencurahkan segenap kemampuannya, moril maupun materil dengan dukungan petunjuk wahyu untuk mendirikan negara Islam sebagai pusat dakwahnya.
Piagam tertulis pertama dalam sejarah umat manusia yang dapatdibandingkan dengan pengertian konstitusi dalam arti modern adalah Piagam Madinah. Piagam ini dibuat atas persetujuan bersama antara Nabi Muhammad SAW dengan wakil-wakil penduduk kota Madinah tak lama setelah beliau hijrah dari Mekkah ke Yastrib, nama kota Madinah sebelumnya, pada tahun 622 Masehi. Banyak buku yang menggambarkan mengenai Piagam Madinah, kadang-kadang disebut juga Konstitusi Madinah. Para ahli menyebut Piagam Madinah ini dengan istilah yang bermacam-macam. Montgomery Watt menyebutnya “The Constitution of Medina”; Nicholson menyebutnya “Charter”; Majid Khadduri menggunakan perkataan “Treaty”; Phillips K. Hitti menyebutnya “Agreement”; Zainal Abidin Ahmad memakai perkataan ‘Piagam’ sebagai terjemahan kata “al-ShahifahI”. Kata ‘al-Shahifah’ merupakan kata yang disebut dalam naskah piagam itu sendiri. Kata ini bahkan disebut sebanyak delapan kali dalam teks piagam. Perkataan ‘charte’ sesungguhnya identik dengan piagam dalam bahasa Indonesia, sedangkan perkataan ‘treaty’ dan ‘agreement” lebih berkenaan dengan isi piagam atau ‘charte’ itu. Namun, fungsinya sebagai dokumen resmi yang berisi pedoman kenegaraan menyebabkan piagam itu tepat juga disebut sebagai konstitusi, seperti yang dilakukan oleh Montgomery Watt.
Para pihak yang diikat dalam Piagam yang berisi perjanjian ini ada tiga belas, yaitu komunitas-komunitas yang secara eksplisit disebut dalam teks Piagam. Ketiga belas komunitas itu adalah: (1) kaum Mukminin dan Muslimin Muhajirin dari suku Quraisy Mekkah; (2) Kaum Mukminin dan Muslimin dari Yastrib; (3) Kaum Yahudi dari Banu ‘Awf; (4) Kaum Yahudi dari Banu Sa’idah; (5) Kaum Yahudi dari Banu al-Hars; (6) Banu Jusyam; (7) Kaum Yahudi dari Banu Najjar; (8)Kaum Yahudi dari Banu ‘Amr bin ‘Awf; (9) Banu al-Nabit; (10) Banu al-‘Aws; (11) Kaum Yahudi dari Banu Sa’labah; (12) Suku Jafnah dari Banu Sa’labah; dan (13) Banu Syuthaybah.
Secara keseluruhan, Piagam Madinah itu berisi 47 pasal ketentuan. Pasal 1, misalnya menegaskan prinsip persatuan dengan menyatakan: “Innahum ummatun wahidatun min duuni al-naas” yang berarti “sesungguhnya mereka adalah umat yang satu, dari (komunitas) manusia”. Dalam Pasal 44 ditegaskan bahwa “Mereka (para pendukung piagam) bahu membahu dalam menghadapi penyerang atas kota Yastrib (Madinah)”. Dalam Pasal 24 dinyatakan: “Kaum Yahudi memikul biaya bersama kaum mukminin selama dalam peperangan”. Pasal 25 menegaskan bahwa: “Kaum Yahudi dari Banu ‘Awf adalah satu umat dengan kaum mukminin, bagi kaum Yahudi agama mereka, dan bagi kaum mukminin agama mereka, juga (kebebasan ini berlaku) bagi sekutu-sekutu dan diri mereka sendiri, kecuali bagi yang zalim dan jahat. Hal demikian akan merusak diri dan keluarganya sendiri.Jaminan persamaan dan persatuan dalam keragaman itu demikian indah dirumuskan dalam Piagam ini, sehingga dalam menghadapi musuh yang akan mungkin akan menyerang kota Madinah, setiap warga kota ditentukan harus saling bahu membahu.
 Dalam hubungannya dengan perbedaan keimanan dan amalan keagamaan, jelas ditentukan adanya kebebasan beragama. Bagi orang Yahudi agama mereka, dan bagi kaum mukminin agama mereka pula. Prinsip kebersamaan ini bahkan ditegaskan dari rumusan al-Qur’an mengenai prinsip “lakum diinukum walyadiin” (bagimu agamamu, dan bagiku agamaku”. Dalam piagam digunakan perkataan mereka, baik bagi orang Yahudi maupun bagi kalangan mukminin dalam jarak yang sama dengan Nabi.
Selanjutnya, pasal terakhir, yaitu Pasal 47 berisi ketentuan penutup yang dalam bahasa Indonesianya adalah: “Sesungguhnya piagam ini tidak membela orang zalim dan khianat. Orang yang keluar (berpergian) dan orang berada di Madinah aman, kecuali orang yang zalim dan khianat. Allah adalah penjamin orang yang berbuat baik dan takwa (tertanda Muhammad Rasulullah SAW).
Ketika Nabi Muhammad SAW wafat, hal pertama yang dilakukan oleh para sahabat –orang-orang Islam pertama di masa Nabi Muhammad- adalah memilih Imam (pemimpin) yang menggantikan beliau. Bahkan mereka mendahulukan masalah ini ketimbang mengubur beliau. Para sahabat sepakat mengangkat Abu Bakar dan menyerahkan persoalan kepemimpinan kepadanya. Cara seperti ini berlanjut pada masa-masa berikutnya. Konsensus historis yang dimulai dari zaman sahabat dan tabi’in ini dijadikan oleh para ulama Islam sebagai dalil untuk mengangkat kepemimpinan dalam Islam.
Imam Ibnu Taimiyah mengatakan dalam buknya “as-Siyasah asy-Syar’iah”, perlu diketahui bahwa penunjukkan seseorang sebagai pemimpin merupakan salah satu tugas agama yang paling besar. Bahkan agama tidak akan tegak dan dunia tidak akan baik tanpa kepemimpinan. Kemaslahatan umat manusia tidak akan terwujud kecuali dengan menata kehidupan sosial. Karena sebagian mereka memerlukan sebagian yang lain. Sedangkan kehidupan sosial itu harus ada yang memimpinnya.
Walaupun berbagai teks Islam tidak mengungkapkan secara terus terang keharusan mendirikan negara, dan sejarah Nabi Muhammad SAW serta para sahabatnya tidak pula memperlihatkan penerapan praktis. Tetapi dalam era modern keberadaan negara adalah entitas kekuasaan tertinggi yang mengatur tatanan kehidupan sosial rakyatnya. Meskipun begitu, penulis berpendapat bahwa tidak serta merta harus dalam bentuk mendirikan negara Islam sebagai tujuan akhir dan bentuk negara yang diperjuangkan. Tetapi urgensi pembentukan negara di era modern adalah realitas yang ada.
Qardhawy melanjutkan: Kapan pun Islam tetap membutuhkan suatu negara yang menjadi pusat pengembangan dakwahnya. Di zaman sekarang kebutuhan itu sangat mendesak. Di zaman sekarang telah muncul “negara ideology”, suatu negara yang mengadopsi suatu ide dasar tertentu. Berdasarkan pemikiran inilah negara itu dibangun, dan berdasarkan pemikiran itu pula dikembangkan ajaran, kebudayaan, legislasi, hukum, dan ekonomi, serta sebagai hal lainnya yang berhubungan dengan berbagai persoalan dalam dan luar negeri. Hal ini dapat kita lihat ilmu pengetahuan modern komunis dan sosialis, mempengaruhi aqidah, pemikiran, perasaan, perilaku dan cara berfikir masyarakat yang belum pernah terjadi sebelumnya. Bahkan negara dengan berbagai aparatnya yang modern mampu merubah nilai-nilai dan moral masyarakat secara total. Hal ini akan terus berlangsung bila tidak ada kekuatan lebih hebat yang menentang.
Qardhawy menyatakan bahwa dengan kekuasaan yang dimiliki oleh negara makan setiap hajat hidup orang banyak berada di bawah tangan negara yang memiliki wewenang kekuasaan mengatur. Akibatnya negara memiliki pengaruh untuk menentukan kebudayaan dan nilai-nilai yang berkembang di masyarakat. Kebergantungan nilai-nilai dengan kekuasaan sangat besar, karena kekuasaan menentukan segalanya, karena itulah untuk menjaga nilai-nilai keislaman tetap berkembang dan hidup di masyarakat, idealnya memang Islam harus bersanding dengan kekuasaan, terutama bentuk kekuasaan demokrasi moderen (legislaslatif, eksekutif, dan yudikatif) yang umumnya berlaku di setiap negara di dunia. Namun, penulis berpendapat bahwa lagi-lagi, penerapan hukum Islam itu tidak serta merta harus secara eksplisit menggunakan Syari’ah (HukumIslam), namun akan lebih mudah beradaptasi dan mendapatkan tempat bila nilai-nilai Syari’ah tersebut diterapkan secara implicit (tersirat) dalam setiap peraturan perundang-undangan, maupun kebijakan yang ada di negara tersebut.
Qardhawy melanjutkan dalam tulisannya: Imam Ibnu Qayyim mengutip dari Imam Abi Wafa’ bin Aqil al-Hambali. menyatakan bahwa politik adalah tindakan yang mendekatkan manusia kepada kebaikan dan menjauhkannya dari kerusakan, selama tidak berlawanan dengan syariat. Para ulama masa lalu memuji nilai dan keutamaan politik, sehingga Imam al-Ghazali mengatakan dunia adalah lading akhirat, agama tidak akan sempurna kecuali dengan dunia. Penguasa dan agama adalah kembaran. Agama adalah tiang dan penguasa adalah penjaga. Sesuatu yang tidak punya tiang akan rubuh dan sesuatu yang tidak dijaga akan hilang.
Para filsuf dan cendekiawan klasik Islam telah lama menyadari perihal keutamaan bagi seorang muslim untuk berpolitik dan atau mengelola kehidupan masyarakat agar menjadi masyarakat madani sesuai dengan konsep dan cita-cita Islam dalam konteks kehidupan sosial. Tetapi memang tidak bisa dipungkiri juga kalangan-kalangan yang menerima  dan menyakini keutamaan berpolitik, dan atau mencatut simbol-simbol Islam dalam urusan berpolitik juga ada pada era kontemporer ini.
Qardhawy melanjutkan: akan tetapi kebanyakan orang di zaman kita sekarang dan di negeri kita sendiri, akibat penderitaan yang mereka alami dikarenakan oleh politik, baik politik penjajah  ataupun politik para penguasa yang khianat dan zalim, mereka membenci politikus dan semua hal yang berhubungan dengannya. Khususnya setelah falsafah Machiavelli mendominasi dan mengarahkan politiku. Sehingga dikisahkan dari Syaikh Muhammad Abduh setelah beliau merasakan pahitnya tipu daya dan maker politik, beliau mengungkapkan sebuah ungkapan yaitu “Saya berlindung kepada Allah dari politik, dari penguasa dan yang dikuasai.”
Tidak diragukan lagi apatisme masayarakat terutama ummat muslim sebagaian besar dikarenakan krisis kepercayaan terhadap politik dan pemerintahan yang sampai hari ini belum mampu membawa perbaikan sosial, ekonomi, hukum, dan segala aspek lainnya. Serta perilaku korup penguasa yang oleh Qardhawi disebut penguasa yang zhalim dan khianat semakin menambah rasa ketidak percayaan kepada politik akhir-akhir ini.
Islam telah menetapkan musyawarah sebagai salah satu kaidah kehidupan, mewajibkan kepada penguasa untuk berkonsultasi dan wajib bagi umat untuk menasihati (penguasa), sehingga Islam menjadikan nasihat sebagai agama. DI antaranya nasihat kepada pemimpin dan penguasa kaum muslimin. Penguasa menurut pandangan Islam adalah wakil umat atau orang upahannya. Karena itu adalah hak orang yang mewakilkan untuk meminta pertanggungjawaban dari wakilnya, atau mencabut hak perwakilan bila diperlukan, khususnya bila sang wakil melalaikan tugasnya.
Dalam bukunya Qardhawi juga menjelaskan perihal perbedaan substansi demokrasi memandang sumber kekuasaan dengan konsep Islam tentang sumber kekuasaan: Pendapat yang mengatakan bahwa demokrasi merupakan pemerintahan rakyat dengan rakyat dan bertentangan dengan prinsip bahwa kekuasaan hanya di tangan Allah. Prinsip kekuasaan rakyat yang merupakan fondasi demokrasi, tidaklah bertentangan dengan prinsip kekuasaan Allah yang merupakan fondasi Islami. Tapi, memang bertentangan dengan prinsip kekuasaan individu dalam pemerintahan diktator.
Dari penjelasan Qardhawi dalam demokrasi rakyat masih memiliki kuasa terhadap pemimpin yang dijadikan wakilnya dalam mengurusi pemerintahan, rakyat masih berhak untuk menyampaikan pendapat, kritik, atau mengkoreksi pemimpin bila melakukan kesalahan. Tetapi berbeda dengan pemerintahan diktator yang berkutat kepada kekuasaan individu mutlak dan otoriter sangat tidak sesuai dengan perspektif Islam melihat kekuasaan. Sebagaimana dijelaskan di awal tema ini bahwa model pemerintahan Fir’aun dan Namrud adalah contoh pemerintahan diktator yang bertentangan dengan Islam.
Qardhawi menambahkan: rakyat bebas memilih pemimpinya dan mengkoreksi tindak tanduknya, mereka boleh menolak perintah penguasa bila bertentangan dengan UUD. Rakyat boleh menolak perintah Imam bila perintah itu menyuruh untuk melakukan maksiat, rakyat berhak memecat pemimpinnya bila menyimpang dan berlaku zalim, serta tidak pula menanggapi nasihat dan peringatannya.
Hal ini memang sesuai dengan nilai dasar dari demokrasi yang memberikan kebebasan dan kesetaraan bagi setiap individu dalam negara. Tetapi tentunya kebebasan tersebut tetap dalam batas-batas, koridor-koridor yang telah ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan. 
Pendek kata aktivitas politik sama sekali tidak bertentangan dengan Islam, atau dalam Islam sama sekali tidak melarang aktivitas politik. Karena interpretasi politik tidak hanya dipersempit secara harafiah ataupun praktis saja, politik itu bagian dari kehidupan manusia sebagaimana Islam hadir sesuai fitrah manusia berisi pedoman dan petunjuk. Ekspansi syiar Islam semakin dipermudah dan berbanding lurus ketika hegemoni kekuasaan Islam mencapai puncaknya. Hal ini didasari oleh nas-nas al-Qur'an serta sejarah Nabi Muhammad SAW banyak memberikan hikmah tentang kepemimpinan, negara, dan politik.
Selain itu secara substansial sistem demokrasi tidak melanggar nilai-nilai yang terdapat pada Islam. Perihal model atau konsep kepemimpinan, yang ditentang oleh Islam adalah kepemimpinan yang zhalim dan khianat terhadap amanat yang diberikan oleh rakyat kepada pemimpin, terlebih demokrasi memberikan ruangan komunikasi antara pemimpin dengan rakyatnya dan mengedepankan nilai-nilai permusyawaratan. Serta kepemimpinan diktator yang menitikberatkan kekuasaan kepada individu tertentu dengan kekuasaan tak terbatas dan otoriter, sama halnya dengan model kepemimpinan diktator klasik Fir'aun dan Namrud. Wallahu'alam..

0 Coment:

Posting Komentar