Pages

Labels

Senin, 21 Agustus 2017

Sebuah Refleksi untuk Menghayati Hakikat Kebangsaan

Kecintaan terhadap tanah air dan etnosentrisme adalah hal yang sifatnya manusiawi, sama halnya kecendrungan setiap manusia dalam hal beragama dan pengakuan atas eksistensi tuhan. Seorang manusia secara sosial akan melekat dengan identitas-identitas sosial dan kultural yang hadir dalam hidupnya. Nasionalisme sendiri adalah hal yang sangat penting dalam sebuah bentuk Negara bangsa yang membutuhkan suatu ikatan yang kuat di antara Negara dan masyarakatnya guna mempercepat perkembangan dan kesejahteraan Negara. Lagi-lagi tentang nasionalisme, nasionalisme dapat hadir dari kesadaran batin dan ideologis yang mendalam ataupun sekedar perasaan emosional karena euphoria hari kemerdekaan, pertandingan sepakbola Timnas atau olahraga lainnya.
Perjalanan setiap bangsa tentu memiliki dinamikanya masing-masing. Semisal Amerika Serikat dengan dua abad lebih perjalanan kebangsaannya. Paska Declaration of Independence, dibayangi oleh sikap paradoks (yang diwakili oleh Negara dan sebagian besar rakyatnya) mereka dalam menerjemahkan liberalisme dan kemanusiaan yang diagungkan. Namun ternyata perlakuan diskriminatif dan perbudakaan masih dilakukan terhadap kelompok rasial kulit hitam. Pertentangan mengenai isu slavery ini bukan hanya berada di ruang perdebatan ide, namun hingga meluas kepada kepentingan ekonomi dan Perang Saudara antar Negara bagian di Amerika Serikat, hingga perang inilah kemudian yang mampu menghentikan legalitas praktek perbudakan di Amerika Serikat. Namun tidak berhenti disitu, perlakuan diskriminatif dan marginalisasi terdahap penduduk kulit hitam pun masih terjadi paska pengakuan civil rights terhadap penduduk kulit hitam meskipun sudah jauh berkurang.
Di Indonesia, perdebatan yang banyak mengemuka selama perjalanan republik Indonesia adalah seputar hubungan hubungan antara Islam dan Negara, Islam dan nasionalisme, mayoritas vis a vis minoritas, religiusitas vis a vis sekularisme, liberalisasi ekonomi vis a vis nasionalisasi ekonomi. Terakhir perbedaan ini menjurus kepada upaya saling klaim sebagai entitas yang paling berjasa, paling layak disebut nasionalis, pewaris sah republik, klaim paling Pancasilais, dan menguatnya sentimen minority uprising terhadap kelompok mayoritas akhir-akhir ini terjadi di Indonesia.
Bila ditarik akar sejarahnya bahkan kita bisa kembali di masa-masa pergerakan nasional hampir seratus tahun yang lalu. Kelompok Islam dan aristokrat sama-sama ‘menanamkan sahamnya’ dalam pembentukan identitas kebangsaan Indonesia. Bila dijabarkan lebih jauh, misalnya dari kalangan Islam salah satu variabelnya adalah kaum ulama dan santri yang tetap menjaga suhu perlawanan rakyat pribumi dalam melawan penindasan penjajah dan melawan upaya kristenisasi yang pasti melekat dan dibawa oleh penjajah barat. Atau di kalangan aristokrat yang kemudian tidak terlalu menganggap penting integrasi agama dan negara, mereka adalah orang-orang yang beruntung memiliki akses lebih dahulu terhadap pendidikan, faktor penting yang sangat penting dalam melahirkan semangat kebangsaan.
Bagaimana kemudian posisi kaum minoritas agama dan ras semasa perjuangan kemerdekaan? Benar adanya dikala itu dukungan perlawanan dan nasionalisme tidak terlalu kuat dan sepenuhnya diperjuangkan oleh kelompok minoritas ini, yang boleh dikatakan juga tidak mendapat luka yang parah dari efek penjajahan, separah yang dialami oleh pribumi dan kelompok Islam. Namun bukan berarti itu adalah pembenaran dan penggeneralisasian secara keseluruhan, dalam referensi-referensi sejarah kita masih dapat menemukan orang-orang atau perkumpulan/organisasi dari kelompok minoritas agama dan ras ini turut andil dalam perjuangan kebangsaan.
Meski –dalam perjalanannya- banyak terjadi persinggungan bahkan meluas kepada konflik fisik antara kelompok-kelompok yang berbeda dalam menerjemahkan visi bangsa Negara. Banyak mungkin sikap arif-bijaksana dan saling menghormati di antara pendahulu bangsa yang dapat diteladani. Semisal satu peristiwa yang banyak menimbulkan kontroversi dan konfrontasi, tentang penyusunan dasar Negara, hal yang dianggap sangat fundamental dalam bernegara. Bagaimana kebesaran hati Agus Salim, Wahid Hasyim, Abikusno Cokrosuroso, Abdul Kahar Muzakir, terhadap permintaan perwakilan daerah timur, A. A. Maramis, terhadap perubahan redaksi Piagam Jakarta. Dalam konteks konsepsi bernegara persinggungan ini sebenarnya telah selesai dengan kompromi-kompromi yang dilakukan oleh para founding fathers bangsa ini.
Kembali munculnya diskursus ini bisa jadi bermula menjelang Pilkada DKI Jakarta. Politik pencitraan yang dimainkan oleh beberapa media mainstream lokal dan internasional terhadap Jokowi (waktu itu masih Walikota Solo) berhasil membangun popularitas Jokowi yang dianggap oleh sebagian masyarakat muslim sebagai ‘boneka’ dan ‘simbol’ dari kelompok-kelompok yang membawa misi sekularisasi dan liberalisasi, dua misi yang dianggap tabu oleh kalangan muslim. Di lain sisi phobia dan stigma negatif secara mendunia terhadap Islam beserta simbol-simbolnya, menempatkan kalangan muslim dalam posisi terpojok dan defensif. Selain itu secara sadar atau tidak, ada kecendrungan menyalahkan integrasi agama dan politik ini sebagai penghambat kemajuan Indonesia, hal yang secara implisit tergambar melalui ide-ide ‘revolusi mental’. Benturan terbuka terkait ide dan penafsiran kebangsaan ini terpelihara di setiap momen politik nasional sepanjang 2012 s/d sekarang, semisal Pilpres dan Pilkada DKI 2017.
Sebenarnya tidak mudah dan perlu analisa yang lebih dalam untuk dapat mengatakan bahwa fenomena ini mirip seperti ‘politik aliran’ tentang kondisi sosial-politik Indonesia tahun 1950an, sangat tidak tepat. Karena di era sekarang dinamikanya lebih kompleks dan motif ideologis sulit dilacak dan dibedakan dengan motif kekuasaan dan ekonomi.
Lalu pemahaman seperti apa yang dibutuhkan untuk merekonstruksi nasionalisme di masa depan. Mmenurut penulis, Negara semestinya mengambil posisi yang netral-penengah dalam hal mewujudkan keharmonisan Negara dan iklim sosial yang kondusif. Bukan malah menjadi elemen yang ikut terlibat dalam konfrontasi ini. Seperti halnya yang terjadi di Amerika Serikat di masa lalu, slogan-slogan humanisme dan kebebasan individual ternyata tercoreng oleh praktek perbudakan yang dalam beberapa periode pemerintahan dibiarkan oleh pihak yang berkuasa, dan tentunya saat itu dilegalkan di beberapa Negara bagian. Bila di Indonesia, mungkin analoginya, slogan toleransi ternyata tercoreng oleh sikap tebang pilih terhadap suatu golongan atau kelompok manapun, baik itu minoritas ataupun mayoritas.
Kita tidak akan akan pernah bisa menghindar dari perbedaan pendapat, semua itu alamiah dan manusiawi. Penafsiran terhadap Negara dan peruntukannya sendiri akan juga beragam, tergantung moral values inventory yang dimiliki oleh setiap penafsirnya. Mungkin contoh sederhananya, mengejawantahkan nilai-nilai Pancasila sendiri dalam bentuk suatu makhluk manusia Pancasilais akan sangat beragam penggambarannya.
Untuk menjaga persatuan bangsa dan keutuhan NKRI, bangsa kita telah memiliki pengalaman yang cukup dalam menghadapi dinamika ini, serta memiliki contoh-contoh baik yang dapat diteladani serta contoh-contoh buruk yang dapat dijadikan pelajaran untuk lebih menciptakan Negara yang harmonis dan maju. Amerika Serikat pun pernah berpuluh-puluh tahun terjebak dalam perpecahan oleh isu perbudakan. Bukan berarti Indonesia tidak memiliki kemampuan yang sama untuk dapat mengkhatamkan isu-isu hubungan agama dan Negara, toleransi dan sejenisnya.
Bangsa kita kaya akan pengalaman dari pemerintahan yang militeristik dan otoritarian (orde baru) hingga pemerintahan demokrasi (reformasi). Republik ini akan semakin matang seiring hadirnya generasi-generasi baru yang terdidik dan tercerahkan, menghilangkan pengaruh-pengaruh kolonial dan jiwa terjajah. Namun syarat utama agar spirit dan value kebangsaan Indonesia tetap seirama dari generasi ke generasi adalah dengan ‘membaca Sejarah’, hanya itu. Sejarah memang tidak membutuhkan porsi dan perhatian yang besar, namun tetap ‘harus/wajib’ ada dalam kehidupan kita.

Sedikit penulis tuangkan fakta-fakta masa lalu dan kontemporer di atas dan merangkumnya dalam sebuah tulisan yang bisa jadi subjektif ini, harapannya agar menjadi refleksi bagi kita semua. Bilamana hakikat kebangsaan kita yang beragam salah satunya harus diwujudkan dalam bentuk toleransi, toleransi ini pun harus hadir secara adil dan proporsional. Nasionalitas dan religiusitas, dua hal ini bukanlah bertolak belakang, sifatnya manusiawi dan alamiah. Kolaborasi keduanya dapat diinstal dalam karakter seseorang. Bisa jadi suatu saat Indonesia dapat maju berangkat dari dua karakter ini, dua karakter yang sangat kental berpengaruh dalam kehidupan tema-tema kebangsaan dan Negara kita.

Atqo Akmal
Sayembara Penulisan Artikel “Gagasan untuk Indonesia Lebih Baik
FOMMPAS Universitas Sebelas Maret

0 Coment:

Posting Komentar