Pages

Labels

Minggu, 17 Desember 2017

Nasionalisasi Perkebunan di Indonesia


Di awal mula kedatangan pedagang Belanda melalui kongsi dagangnya VOC. Perkebunan yang dikembangkan oleh VOC bekerja sama dengan otoritas lokal (sultan, raja, bupati) untuk mengembangkan kebun rempah di Maluku dan perkebunan tebu di Jawa pada abad ke-17. Dan dalam praktik perdagangannya VOC memonopoli semua produk komoditas perkebunan yang ada, dan dijual ulang di pasaran Eropa.
Setelah bangkrutnya VOC dan terjadi peralihan kekuasaan kolonial kepada Pemerintahan Kolonial Belanda, perkebunan industri mulai dikembangkan dengan kebijakan cultuur stelsel (1830-1870), yang secara harafiah diartikan sebagai ‘budaya penanaman’, dalam terminologi sejarah nasionalistik sering kita sebut dengan istilah ‘tanam paksa’. Di mana setiap pemilik lahan dan para petani diwajibkan untuk menanam tanaman industri serta komoditas yang laku dijual di pasaran, jenis tanaman yang diwajibkan adalah tebu, tembakau, dan tanaman yang bernilai sebagai basis ekonomi produksi.
Kebijakan ekonomi nusantara kembali berubah sejak tahun 1870, di mana arus liberalisasi masuk kepada parlemen Kerajaan Belanda dan arah kebijakan terhadap daerah kolonial pun mengalami perubahan. Perekonomian yang awalnya dilaksanakan dan dikendalikan penuh oleh Negara sejak 1830, kemudian beralih haluan dengan liberalisasi ekonomi memberikan ruang kebebasan kepada pihak swasta dari berbagai suku bangsa Eropa (tidak hanya Belanda) untuk berinvestasi di nusantara. Pada masa ini daerah perkebunan, industri perkebunan, serta industry lainnya berkembang dalam jumlah besar dan telah merambah ke luar Jawa terutama Sumatera dan Kalimantan. Periode ini berlangsung sampai kedatangan Jepang.
Setelah Indonesia mendeklarasikan kemerdekaannya, industri perkebunan tersebut dikelola oleh pemerintah Indonesia melalui nasionalisasi. Nasionalisasi berlangsung melalui proses politik, hukum dan ekonomi. Embrio nasionalisasi adalah "Indonesianisasi". Hal ini berawal dari proses politik peralihan kekuasaan kepada Pemerintah Republik Indonesia yang kemudian berpengaruh kepada aspek ekonomi dan hukum.
John Sutter mengatakan bahwa ada enam bentuk proses Indonesianisasi, yaitu: (1) pendirian perusahaan baru di sektor yang sebelumnya ditutup untuk masyarakat Indonesia; (2) transfer aset yang sebelumnya milik perusahaan swasta kolonial ke pemerintah Indonesia; (3) pembentukan BUMN; (4) meningkatnya kontrol pemerintah terhadap bisnis milik orang asing; (5) meningkatnya partisipasi masyarakat Indonesia dalam pengelolaan perusahaan yang sebelumnya didominasi oleh pekerja asing; (6) transisi kepemilikan perusahaan dari asing ke pemerintah Indonesia. Wasino menambahkan, (7) meningkatnya kepemilikan saham masyarakat Indonesia di perusahaan yang didirikan oleh orang asing; dan (8) kembalinya kepemilikan lahan kepada masyarakat Indonesia oleh perusahaan asing.
Nasionalisasi mengacu pada pengurangan kontrol Belanda dan perombakan ulang ekonomi Indonesia pada era dekolonisasi segera setelah pengakuan kemerdekaan Indonesia pada tahun 1949. Istilah nasionalisasi bias ditafsirkan untuk mengganti pegawai dan manajer Belanda ke Indonesia di birokrasi dan perusahaan swasta.
Kelahiran pemerintahan baru, Indonesia, dalam masa pasca kemerdekaan, membawa sebuah konsep pengelolaan aset kolonial, terutama penjajahan Belanda. Aset ekonomi kolonial dilakukan oleh pejuang kemerdekaan untuk beralih ke aset nasional. Proses transfer aset terjadi dalam dua cara, yaitu peralihan institusi dari Pemerintah Kolonial Belanda ke Pemerintah Indonesia dan nasionalisasi atau indonesianisasi.
Peralihan institusional biasanya terjadi di institusi pemerintah, yaitu dari Hindia Belanda kepada Pemerintah Indonesia. Sementara itu, nasionalisasi ditujukan untuk aset non-pemerintah, keduanya milik orang asing swasta dan perusahaan milik negara Belanda. Proses perpindahan institusional berlangsung beberapa saat setelah Indonesia mendeklarasikan kemerdekaannya. Di sisi lain, nasionalisasi terjadi dalam proses kemudian dan mencapai puncaknya pada tahun 1957.
Pemerintah Indonesia telah mengesahkan produk hukum untuk melegalkan nasionalisasi. Nasionalisasi secara legal didasarkan pada implementasi UU No. 86 tahun 1958 tentang Nasionalisasi Perusahaan Belanda. Dalam pasal 1, dijelaskan bahwa: “Perusahaan-perusahaan Belanda yang berada di Indonesia yang akan diatur dengan peraturan pemerintah akan tunduk dan diakui sebagai kepemilikan penuh dan bebas untuk Indonesia”. Peraturan Pemerintah No. 2 tahun 1959 menyebutkan bahwa perusahaan milik pemerintah Belanda yang dapat dikenakan nasionalisasi adalah: “(1) sebuah perusahaan yang sebagian atau keseluruhannya milik warga negara Belanda dan berada di Indonesia; (2) sebuah perusahaan milik suatu badan hukum yang sebagian atau seluruh modalnya berasal dari warga negara Belanda dan badan hukumnya berada di Indonesia; (3) sebuah perusahaan yang berlokasi di Indonesia dan tergabung dalam badan hukum di wilayah Kerajaan Belanda”.
Di sisi lain, perusahaan yang dinasionalisasi mencakup seluruh kekayaan, cadangan properti, dan hutang. Dan di ayat ke 2 UU No. 86 Tahun 1958 disebutkan bahwa: “perusahaan-perusahaan Belanda di Indonesia yang telah mengalami nasionalisasi akan mendapatkan kompensasi sebagaimana ditentukan oleh panitia dan kemudian ditetapkan oleh pemerintah”.
Nasionalisasi perkebunan ditandai dengan transfer dan pengambilalihan aset milik perusahaan perkebunan tersebut. Di antara perusahaan perkebunan tersebut, yang paling dominan adalah perkebunan tebu dan pabrik gula yang sebagian besar berada di Pulau Jawa. Nasionalisasi perkebunan tebu dan pabrik gula dianggap penting, karena gula merupakan aset ekonomi yang signifikan. Pada periode sebelum krisis ekonomi (1930), industri gula di Jawa menghasilkan tiga perempat dari keseluruhan ekspor Jawa dan telah menyumbang seperempat dari seluruh pendapatan dari pemerintah Hindia Belanda.
Peraturan Pemerintah No. 4 tahun 1959 dan Peraturan Pemerintah No. 19 tahun 1959 khususnya mengatur tentang perusahaan pertanian atau perkebunan milik N.V 'Vereenigde Deli Mij. Menurut peraturan pemerintah tersebut, ada 38 perusahaan perkebunan tembakau yang telah dinasionalisasi tersebar di Sumatera dan Pulau Jawa. Sebagian besar perusahaan tersebut berada di Sumatera bagian timur. Perusahaan-perusahaan tersebut adalah: Perusahaan perkebunan tembakau "Bandar Klippa" di Deli / Serdang, "Kwala begomit" perusahaan perkebunan tembakau di Langkat, "Bangak" di Boyolali, "Adiong" di Jember, dll.
Peraturan pemerintah no 19 tahun 1959 mengatur perusahaan pertanian atau perkebunan di luar perkebunan tembakau. Pada peraturan ini, tidak disebutkan tentang perusahaan pertanian yang dinasionalisasi, namun hanya disebutkan bahwa melalui peraturan tersebut, perusahaan pertanian dan perkebunan Belanda tersebut telah dinasionalisasi. Rincian perusahaan pertanian dan perkebunan tersebut diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 31 tahun 1959.
Terdapat 204 pejabat kantor dan petugas administrasi perusahaan perkebunan dan industri perkebunan dari perusahaan yang telah dinasionalisasi dengan Peraturan Pemerintah No. 31 Tahun 1959. Nasionalisasi perkebunan telah mengubah kepemilikan perusahaan perkebunan milik pemerintah Indonesia, namun di sisi lain, ada banyak masalah yang dihadapi setelah nasionalisasi terjadi. Ini merupakan awal runtuhnya industri gula di Jawa. Setelah nasionalisasi pengelolaan perusahaan perkebunan, termasuk industri gula yang berada di bawah kendali PPRI (Perusahaan Perkebunan Republik Indonesia = Perusahaan Perkebunan Indonesia) kemudian berubah menjadi PTP (Perusahaan Terbatas Perkebunan) sebelumnya PTPN.
Orang asing yang sebelumnya memegang posisi penting di perusahaan perkebunan (termasuk gula) mengundurkan diri dari Indonesia, padahal transfer pengetahuan dari orang asing kepada orang indonesia belum berjalan dengan sempurna. Banyak orang Indonesia yang sebelumnya hanya pegawai tingkat rendah di perusahaan perkebunan tersebut dipromosikan menjadi pemimpin puncak, dari seorang mandor perkebunan yang dipromosikan ke administrator pabrik gula. Bahkan di beberapa perkebunan, posisi pemimpin ditangani oleh perwira militer yang tidak memiliki pengalaman dalam merawat perusahaan perkebunan.
Pabrik Gula Gondang
Source: http://historycomunity.blogspot.co.id/2016/01/pabrik-gula-gondang.html
Preseden buruk lainnya dari sisi pengembangan agroindustri akibat nasionalisasi adalah ketersediaan lahan. Sebelum nasionalisasi investor besar yang menginvestasikan investasinya di perkebunan tersebut bisa menggunakan lahan rakyat melalui sewa lahan dalam waktu lama (sampai 20 tahun). Setelah nasionalisasi, orang menarik lahan mereka dan tidak bisa disewa oleh perusahaan perkebunan karena akan digunakan untuk tanaman pangan.
Efek nasionalisasi tentu membuat kebanggaan tersendiri bagi Indonesia, namun di sisi lain, hal itu menyebabkan masalah hukum dengan pemilik lama dan masyarakat Indonesia, terutama mengenai kontrol dan kepemilikan lahan. Nasionalisasi menyebabkan Indonesia berdasarkan hokum internasional diwajibkan untuk memberikan kompensasi kepada pemilik perusahaan perkebunan Belanda, dan hutang tersebut baru saja diselesaikan pada tahun 2002. Beberapa konflik tentang kontrol dan kepemilikan lahan di antara perkebunan terus berlanjut sampai sekarang dan ini mengacu pada konflik horizontal. Pendekatan historis diperlukan untuk mengatasi rekonsiliasi atau proses hukum di pengadilan.


*Diadaptasi dari Perkuliahan Sejarah Sosial Ekonomi, Prof. Wasino, berdasarkan hasil penelitian beliau dan tim untuk Kementrian BUMN terkait nasionalisasi perusahaan di Indonesia.

0 Coment:

Posting Komentar