Pages

Labels

Senin, 08 Juni 2015

Menggagas Nasionalisme: antara Soekarno, Salim, dan Natsir

Menjelang tahun 1920-an, bermunculan berbagai organ yang bergerak di bidang politik selain Partai Sarekat Islam. Tahun 1923 terjadi perpecahan di tubuh Perhimpunan Indonesia (selanjutnya disebut PI) di Belanda, sehingga para anggotanya memutuskan kembali ke Hindia. Salah satu mantan anggota PI yang kembali adalah Soetomo yang kemudian mendirikan Indonesiche Studie Club (ISC) di Surabaya. Selain itu anggota PI lainnya, Isqak Cokroadisoeryo dan beberapa mahasiswa teknik di Bandung yaitu Anwari dan Soekarno membentuk Algemene Studie Club (ASC) di Bandung pada 29 November 1925. Soekarno merupakan sosok yang sangat tanggap membaca situasi perpolitikan di Nusantara. Ia merupakan salah satu murid Tjokroaminoto, setelah kurang dari satu tahun kepemimpinan ASC digantikan dari Isqak kepada Soekarno.
Tahun 1926, situasi Indonesia berubah, karena pada tahun ini, muncul pemberontakan PKI terhadap Pemerintah Hindia Belanda di Sumatera Barat dan Banten. Sikap pemerintah yang represif membuat melemahnya pergerakan nasional, Soekarno kemudian menggagas ASC untuk bertransformasi sebagai sebuah partai politik. Pada Januari 1927, Partai Sarekat Islam menyelenggarakan kongres nasional di Pekalongan, ketika berlangsungnya kongres, Soekarno sebagai salah satu anggota Partai Sarekat Islam –yang juga saat itu menjabat ketua ASC- menyerukan pembentukan sebuah federasi dengan organ pergerakan politik lain. Usulan Soekarno tersebut mendapat sambutan baik dari peserta kongres lainnya.
Seiring dengan pembentukan federasi ini, Soekarno yang sebelumnya memiliki gagasan tersebut justru kembali aktif di ASC dan mengupayakan perubahan bentuk ASC menjadi Partai Nasional Indonesia (selanjutnya disebut PNI). Pembentukan PNI tidak menghambat proses pembentukan federasi, tepat tanggal 17-18 Desember 1927, resmi berdiri Permufakatan Perhimpunan-Perhimpunan Politik Kebangsaan Indonesia (PPPKI) yang tergabung PSI, BU, PNI, Pasundan, Sumateranenbond, Sarekat Madura, kaum Betawi, dan lain-lain. Federasi ini berfungsi sebagai  “suatu timbunan kekuatan dan satu gelombang tenaga rakyat Indonesia, satu ikhtiar dari satu kemauan”.
Federasi baru ini kemudian menjadi wadah baru perjuangan organ-organ bumiputera dalam membangun persatuan gerakan. Menurut Soekarno pembentukan PPPKI merupakan langkah maju dalam mempertegas posisi antara bumiputera dengan Pemerintah Hindia Belanda. Perjuangan bumiputera dalam PPPKI bukan persoalan hak dan kewajiban, karena pada dasarnya hak dan kewajiban telah menjadi milik rakyat bumiputera seutuhnya. Di satu sisi, perpaduan organisasi yang berbeda haluan dalam PPPKI, sebagai bentuk kemajuan dalam membingkai kesadaran nasional bumiputera, di sisi lain keberagaman tersebut justru menjadi persoalan baru di dalamnya. Partai Sarekat Islam berharap anggota PPPKI menerapkan sikap politik yang sama yaitu non-kooperasi, akan tetapi, hal demikian tidak dapat dipaksakan karena tentunya anggota federasi lain telah menentukan sikap politiknya masing-masing. Sikap politik yang berbeda juga berkaitan dengan ideology lembaga masing-masing. Perbedaan melebar di antara sikap ideology nasionalis Islam dengan nasionalis sekuler.
Pertentangan tersebut berkaitan dengan nasionalisme atau kebangsaan. Perdebatan muncul ketika PPPKI yang dipimpin oleh Soekarno disokong sepenuhnya oleh kelompok nasionalis sekuler. Soekarno banyak terpengaruh pemikirang Ernest Renan, Karl Kautsky, Karl Radek, dan Otto Bauer yang saat itu sangat popular dengan makna nasionalisme. Soekarno sebagai bagian dari kelompok nasionalis sekuler memandang kecintaan terhadap Negara dahulu telah melahirkan sosok seperti Gadjah Mada dan berbagai sosok laiinya. Soekarno berpendapat untuk menciptakan dan mempertahankan persatuan, harus membangun serta memupuk rasa kecintaan terhadap tanah air, kesediaan yang tulus dalam membaktikan diri kepada tanah air, dan rasa kesediaan diri untuk mengesampingkan kepentingan partai demi kecintaan terhadap tanah air.
Agoes Salim –perwakilan kelompok nasionalis Islam- memandang berbeda tentang nasionalisme. Salim memandang pemikiran Soekarno tentang memuliakan tanah air di atas segala-galanya, tentu data mencairkan dan melunturkan nilai-nilai ke-tauhid-an. Salim menjelaskan:
Cinta kebangsaan, karena nama kebangsaan dan riwayat kebangsaan, nyata hanyalah buah bibir, yang berfaedah bagi rakyat kebanyakan, hanya menjadi dasar bagi “Komidi Bourgoeis”. Cinta bangsa, yang mementingkan nasib rakyat sebangsa, sebanyak yang lebih melarat, yang menghendaki persamaan dalam sebangsa antara segala golongan, yang dengan persamaan hak menuju maslahat umum, yang mengutamakan orang sebangsa daripada kebangsaan, cinta bangsa inilah yang sesungguhnya menghendaki kemerdekaan bangsa segenapnya, bagi keselamatan dan kesejahteraan rakyat sebangsa sekalian, karena kewajiban kepada sesama manusia yang sama bertanah air ke negeri yang satu. Inilah Cinta Bangsa yang menjadi asas SI. Cinta bangsa yang hendaak menjunjung tinggi ummat sebangsa, tetapi tidak mengangkat kebangsaan menjadi berhala tempat menyembah dan memuja. Dan Cinta Bangsa ini jugalah hendaknya  menjadi asas dalam tiap-tiap kaum politik, sekalipun asas politiknya terambil dari kebangsaan.
Salim bukan berarti menganggap persatuan dan cinta tanah air tidak penting. Salim ingin menyampaikan bahwa ungkapan kecintaan yang demikian jangan hanya berlaku bagi segelintir saja, tetapi berlaku bagi keseluruhan orang. Salim juga mengingatkan bahwa kebangsaan bukan sebagai alasan atau dasar sebuah bangsa melakukan penindasan kepada bangsa lain. Salim khawatir, kecintaan terhadap tanah air lebih mengutamakan orang sebangsa daripada segenap bangsa yang hidup dalam satu tanah air. Kecintaan terhadap tanah air akan memunculkan persaingan untuk memperebutkan kekayaan, kemegahan, dan kebesaran bangsa atas bangsa lain. Bagi Salim semangat cinta tanah air yang demikian hanya didasari oleh nilai-nilai kebendaan semata. Semangat cinta tanah air atas dasar kebendaan, tidak jauh berbeda dengan apa yang telah ditampilkan oleh sejarah tentang sepak terjang nasionalisme bangsa di belahan dunia lain yang kemudian menindas bangsa lainnya.
Bagi Salim, cinta tanah air tentunya harus didasari oleh nilai-nilai ketuhanan, bukan kebendaan. Cinta tanah air yang demikian akan membawa kepada cinta tanah air yang lebih luhur melampaui kebendaan. Cinta tanah air yang dpaat mewujudkan segenap hak dan keadilan serta kebaikan yang batas-batasnya telah ditentukan oleh Allah SWT. Salim mengutip al-Qur’an Surat 14, ayat 37: Ya tuhan kami, sesungguhnya aku telah menenmpatkan sebagian keturunanku di lembah yang tidak mempunyai tanaman di dekat rumah engkau (baitullah) yang dihormati. Ya tuhan kami-agar mereka mendirikan shalat- maka jadikanlah hati sebahagian manusia cendrung kepada mereka dan beri rezekilah mereka berupa buah-buahan, mudah-mudahan mereka bersyukur.
Salim menambahkan bahwa rasa cinta tanah air yang mengelapkan mata Lodewijk XIV (Louis XIV), Napoleon, Otto von Bismarck, Bennito Mussolini dan lain-lain. Bahwa rasa cinta tanah air yang menjadi penyebab agresivitas kebangsaan di Eropa untuk saling menyerang. Bagi seorang pemimpin dan aktivis Islam seperti Agus Salim, pandangan nasionalisme berlebihan akan memperbudak manusia untuk menjadi penyembah tanah air. Karena alasan itu, Agus Salim tegas menyatakan bahwa nasionalisme harus diletakkan di bawah kerangka “pengabdian kita kepada Allah.” Dan sejalan dengan itu, menurutnya, maka prinsip dasarnya haruslah Islam.
Ahmad Hassan, seorang pemimpin organisasi reformis Persatuan Islam (Persis), mengkritik nasionalisme yang berwatak chauvinistik. Menurutnya, posisi nasionalistik seperti itu sebanding dengan pandangan orang-orang Arab mengenai kesukuan (‘ashabiyah) sebelum datangnya Islam. Mohammad Natsir, murid Ahmad Hassan dengan latar belakang pendidikan Barat, Natsir sebagaimana gurunya mengkhawatirkan bergulirnya gagasan nasionalisme Soekarno menjadi suatu bentuk ‘ashabiyah baru. Gagasan itu, dalam pandangannya, dapat mengandung “fanatisme” yang dapat memutuskan tali ukhuwah seluruh kaum Muslimin di berbagai bangsa. Bagi Natsir, gagasan nasionalisme harus mempunyai sejenis landasan teologis. Karena itu sebagaimana Agus Salim, ia menyatakan bahwa perjuangan mencapai kemerdekaan Indonesia harus diarahkan atau diniatkan sebagai bagian dari pengabdian kepada Allah.
Natsir juga percaya bahwa nasionalisme Indonesia harus berwatak Islami. Untuk alasan itu, ia memperkenalkan gagasan kebangsaan Islam. Ia mendasarkan keyakinannya ini kepada kenyataan historis bahwa Islam lah yang pada awalnya mendefinisikan nasionalisme Negara Indonesia.
Natsir menulis dalam Pembela Islam: Pergerakan Islam lah –yakni SI- yang lebih dahulu membuka jalan medan politik kemerdekaan di tanah air ini, yang mula-mula menanamkan bibit persatuan Indonesia yang menyingkirkan sifat kepulauan dan keprovinsian, yang mula-mula menanampersaudaraan dengan kaum yang senasib di luar batas Indonesia dengan tali ke-Islaman.
Dengan pandangan tentang kebangsaan yang seperti itu, Natsir berpendapat bahwa kemerdekaan bukanlah tujuan akhir gerakan nasionalis Islam. Sebaliknya, kemerdekaan harus dipandang untuk sampai kepada ridha Allah.
Perdebatan berlanjut. Soekarno menegaskan bahwa nasionalisme yang dia maksud adalah nasionalisme ke-timur-an , dan bukan nasionalisme yang berlebihan –Chauvinisme-. Soekarno kemudian menyamakan sifat nasionalismenya sama dengan nasionalisme yang dimaknai oleh ;Mahatma Gandhi dan Aurobindo Ghose di India; Mustafa Kemal Attaturk di Turki; Amanullah Khan di Iran; dan Dr. Sun Yat Sen di China.
Soekarno mengklaim bahwa nasionalisme lah yang menjadikan orang-orang Indonesia “perkakasnya Tuhan”, dan membuat mereka “hidup dalam roh”. Mengacu kepada esai kontroversial dari Soekarno berjudul “Nasionalisme, Islam, dan Marxisme”, di dalam esai tersebut ada sebuah obsesi Soekarno untuk menyatukan apa yang ia lihat sebagai tiga aliran ideologis yang membentuk pandangannya untuk melihat nasionalisme dalam cara yang demikian lebar untuk memungkinkan setiap kecendrungan membentuk aliansi yang pas dalam rangka pencapaian kemerdekaan. Untuk itu, berkali-kali ia menyatakan bahwa “tidak ada sesuatu pun yang menghalangi kaum nasionalis untuk bekerjasama dengan kaum Muslim dan kaum Marxis". Pada awal 1940-an, polemik-polemik itu berkembang jauh melampaui masalah nasionalisme. Polemik itu berkembang menyentuh masalah yang lebih penting, yakni hubungan politik antara Islam dan Negara.
Dari tulisan awalnya mengenai Islam, yang diterbitkan dalam jurnal Pandji Islam yang berbasis di Medan pada 1940, Soekarno mendukung pemisahan Islam dari Negara. Meskipun demikian, ia tidak menyatakan bahwa sama sekali tidak boleh ada hubungan apapun antara kedua wilayah religio-politik ini. Dapat dipastikan, ia menentang gagasan mengenai hubungan formal-legal anatara Islam dan Negara. Khususnya dalam sebuah Negara yang tidak semua pendudukanya menganut agama Islam. Baginya , model hubungan semacam itu hanya akan menimbulkan perasaan diskriminasi, khususnya kepada masyarakat non-muslim di Negara tersebut.
Dalam esainya berjudul “Saya Kurang Dinamis,” ia menulis: maka realitet itu menunjukkanlah kepada kita bahwa asas persatuan agama dan Negara itu bagi penduduknya yang tidak bulat 100% semua Islam, tidak bisa berbarengan dengan demokrasi. Buat negeri yang demikian itu, hanyalah dua alternatif, hanya dua hal yang dipilih: satu diantaranya, persatuan Negara-agama, tetapi zonder demokrasi: atau demokrasi, tetapi Negara dipisahkan dari agama! Persatuan Negara-agama, tetapi mendurhakai demokrasi dan main dictator, atau: setia kepada demokrasi, tetapi melepaskan asas persatuan Negara dan agama (Soekarno, Dibawah Bendera Revolusi).
 Menurut Nasihin, perdebatan yang antara Salim-Natsir dan Soekarno tidak pada konteks yang sama tentang hakikat atau makna nasionalisme Indonesia. Salim menitikberatkan kepada dasar atau semangat cinta tanah air yang akan dibangun oleh bangsa Indonesia.
Paham pemisahan Islam dari Negara ini memunculkan kritik dari sejumlah pemimpin dan aktivis Islam. Bertolak belakang dengan gagasan-gagasan Soekarno, Natsir percaya kepada watak holistik Islam, ia amat mendukung pernayataan H.A.R Gibb, yang memang mendapat sambutan luas di kalangan Muslim, bahwa “Islam itu sesungguhnya lebih dari satu sistem agama saja, dia itu adalah kebudayaan yang lengkap”. Bagi Natsir, Islam tidak hanya terdiri dari praktik-praktik ritual, melainkan juga meliputi prinsip-prinsip umum yang relevan untuk mengatur hubungan antara individu dan masyarakat.
Berdasarkan perspektif tersebut, Natsir berpendapat bahwa Islam dan Negara adalah dua entitas religio-politik yang menyatu. “Negara, bagi kita, bukan tujuan, tetapi alat, urusan kenegaraan pada pokoknya dan pada dasarnya adalah satu  bagian yang tidak dapat dipisahkan, satu intergreerend deel dari Islam" tulis Natsir dalam Capita Selecta. Terlepas dari itu, natsir juga mengakui bahwa, islam hanya memberikan garis-garis umum. Aturan-aturan yang lebih terperinci mengenai operasional sebuah Negara, tergantung kepada kemampuan para pemimpinnya untuk melaksanakan ijtihad mereka sendiri, dengan syarat semuanya harus dilakukan dengan cara-cara demokratis. Dengan demikianlah tambahnya, ia menolak pandangan yang menyatakan Islam menentang gagasan kemajuan dan modernitas.
Polemik Salim-Natsir dan Soekarno masih bersifat eksploratif. Sejak semula, keduanya tidak bermaksud merumuskan konsepsi-konsepsi yang siap-pakai mengenai hubungan Negara dan agama. Namun keduanya juga tidak bermaksud menemukan kesamaan di antara mereka. Keduanya hanya ingin menunjukkan posisi-posisi ideologis-politis masing-masing. Konsekuensinya, perdebatan-perdebatan itu hanya menggaris bawahi berbagai perbedaan di antara kedua kelompok yang saling berseberangan.

0 Coment:

Posting Komentar