Pages

Labels

Minggu, 17 Mei 2015

Sarekat Islam: Pertentangan Ideologis Putih dan Merah di Tengah Badai Kolonialisme

Jika ada kekuatan ‘Islam Politik’ yang pertama kali muncul di Nusantara –yang kemudian menjadi Indonesia- maka itu bisa dipastikan adalah Sarekat Islam (SI). Berdiri pada 1905 sebagai Sarekat Dagang Islam (SDI) di Surakarta dan kemudian di Jakarta (1909) dan di Bogor (1910), tidak ada organisasi massa Islam yang awalnya dimaksudkan menjadi locus untuk memajukan ekonomi umat Islam, yang begitu cepat terlibat dalam isu dan aksi-aksi politik praktis.
Syarikat Islam (SI)  merupakan pelopor gerakan nasional Indonesia yang paling awal. Sebagai gerakan masif yang menentang kolonoalisme, SI menghimpun kekuatan sosial yang bersifat transprimordial, multietnik, dan ideologis. Kepeloporan SI dalam gerakan nasional dan kontribusinya yang signifikan bagi Indonesia telah banyak diteliti oleh sejarawan dan ilmuwan politik. Hasil riset mereka membuktikan bahwa SI merupakan pelopor pergerakan nasional Indonesia yang paling awal, dan bukan organisasi lain, misalnya Budi Utomo yang bersifat ‘Jawa sentris’.
SI adalah representasi solitary Islamic Politics, satu-satunya ekspresi Islam politik, di bawah represi kolonial Belanda. Sebagai representasi soliter Islam politik, tidak heran jika umat Islam yang juga beragam menyambut SI dengan penuh euforia. Meski  berangkat dari Islam, SI adalah gerakan kebangsaan pertama, kebangkitan nasional awal, dari berbagai segi. Pertama, dari  sudut keanggotaan dan kepemimpinan yang mencakup berbagai suku bangsa Nusantara; kedua dari keluasan penyebarannya yang melintasi batas-batas wilayah dan pulau; ketiga, dari sudut program dan jargon yang diusung, yang intinya menuntut kemerdekaan Nusantara dari penjajahan Belanda; dan keempat kemajemukan kelas sosial para pemimpin dan anggotanya sejak dari kalangan santri, abangan, priyayi, buruh, petani, dan kaum marjinal lainnya.
Harapan dan ekspektasi terhadap SI juga beragam; sejak kalangan muslim santri yang memandangnya sebagai tumpuan ‘kebangkitan Islam’ (Islamic revival); kalangan buruh dan petani yang menggantungkan harapan untuk pembebasan dari ketertindasan ekonomi; dan aktivis yang melihatnya sebagai ‘kendaraan politik’ untuk mengakhiri penjajahan.
Cikal Bakal Terbentuknya Sarekat Islam
Kolonialisme Belanda memiliki pengaruh terhadap kehidupan masyarakat Indonesia. Seperti yang diungkapkan oleh Harry J. Benda, bahwa perkembangan-perkembangan yang terjadi di Indonesia tidak sedikit merupakan akibat kumulatif dari rangsangan pengaruh barat. Peningkatan di bidang pendidikan bagi rakyat bumiputera –sebagai bagian dari program politik etis- memiliki andil besar dalam membuka wacana persamaan, dan persatuan bagi kalangan muda Indonesia. Untuk mencapai persamaan hak, kedudukan serta kewenangan sebagai sebuah bangsa, kaum muda membentuk perkumpulan bumiputera. Pada 1906, Tirtoadhisuryo bersama kawan-kawan mendirikan Syarikat Priaji. Sarekat Priayi adalah sebuah perkumpulan para bangsawan dan priyayi. Tujuan dari organ ini adalah melalui persatuan para bangsawan dan priyayi untuk menyejahterakan rakyat bumiputera melalui pendidikan dan pengajaran formal para anak-anak bangsawan dan priyayi bumiputera (pangreh raja).
Seiring meningkatnya keanggotaan dalam Sarekat Priyayi, surat kabar menjadi prioritas utama untuk menjalin warta di antara para anggota. Medan Priyayi itulah nama surat kabarnya dan sejak 1 Januari 1907, pertama kali beredar sebagai surat kabar yang dimiliki bumiputera. Semakin berkembangnya surat kabar bumiputera, ternyata tidak dibarengi dengan meningkatnya kelembagaan di dalam Sarekat Priyayi itu sendiri. Kekuatan Sarekat Priyayi semakin melemah, unsur dominan kelemahan Sarekat Priyayi adalah terbengkalainya administrasi keuangan serta dasar organisasi yang bertumpu pada kesatuan para priyayi bumiputera. Dasar persatuan Sarekat Priyayi semakin mempersempit persebaran anggota dalam sarekat. Ruang gerak sarekat seolah-olah dibatasi dan tunduk pada aturan-aturan para priyayi yang sebetulnya, mereka kebanyakan sebagai kaki tangan Pemerintah Hindia Belanda. Secara politis, kelompok sosial priyayi tidak mampu melawan setiap kebijakan Pemerintah Hindia Belanda yang diskriminatif, karena keterkaitan kaum priyayi dengan pemerintahan kolonial yang berpihak kepada mereka.
Runtuhnya Sarekat Priyayi menjadi catatan khusus bagi Tirtoadhisuryo dan kawan-kawan, karena persatuan di kalangan priyayi belum menjawab tuntutan bersatu bagi seluruh strata bumiputera di Indonesia. Setelah bubarnya Sarekat Priyayi, tepatnya pada tahun 1908 perkumpulan Budi Utomo (selanjutnya disebut BU) dibentuk. Pembentukan BU diprakarsai oleh sebagian besar pelajar STOVIA yang terlahir dari kalangan priyayi juga.
Pada masa awal pemebentukan BU, Tirtoadhisuryo (pimpinan redaksi Medan Priyayi) menolak tawaran dr. Soetomo untuk bergabung dalam lembaga tersebut. Tirtoadhisuryo tidak ingin mengulangi kegagalannya kembali dalam BU yang hanya mengikat persatuan priyayi dan bukan persatuan seluruh bumiputera tanpa memandang ras, serta golongan dan tidak dibatasi geografis Jawa, Madura, atau Sumatera.
Pada tahun 1909, Tirthoadhisuryo mendirikan Sarikat Dagang Islam (selanjutnya disebut SDI). Istilah “dagang” dianggap mewakili kelompok atau setratifikasi sosial tertentu. Para pedagang, merupakan bagian dari struktur sosial yang relatif memiliki tingkat kebebasan tinggi (tanpa tekanan pemerintah), sebagaimana perlakuan pemerintah kepada golongan priyayi. Bebas atas tekanan ekonomi, serta bebas terhadap tekanan Pemerintah Kolonoal Belanda.
Sesuai dengan namanya, SDI berasaskan Islam. Dasar Islam merupakan tanggapan terhadap mayoritas bumiputera yang beragama Islam. Melalui dasar Islam dan bergerak di bidang perdagangan, kelembagaan tersebut diharapkan mampu menjawab dan mengikat rasa kesatuan bumiputera seluruhnya tanpa memandang golongan.
Keadaan perniagaan jang dilakoekan oleh bangsa Islam di Hindia belanda, djika dibandingkan dengan pri perniagaan bangsa Europa adalah djaoehkoerang sampoernanja. Martabat dan derajat pedagang Islam di Hindia ini ada sanget rendahnja. Kerna kekoerangan kesempoernaan itoe, sehingga priboemi bangsa Islam jang berbangsa tiada begitoe soeka mendjadi kaum pedagang hanja jang teroedak, melainkan djabatan kepangkatan dan pekerdjaan jang sehoemoer-hoemoer tiada melepaskan dirinja dari peri perkoelian.
Dalam tulisannya, Tirto melihat adanya ketimpangan dalam kehidupan para pedagang Islam bumiputera. Para pedagang Islam bumiputera tidak dapat diimbangkan dengan pedagang Eropa dan Tionghoa. Kaum pedagang Islam bumiputera akan terus menjadi bangsa koeli karena rendahnya status sosialnya.
SDI menjadi satu-satunya lembaga yang dapat menampung seluruh strata sosial bumiputera. SDI sebagai perkumpulan yang disahkan oleh Pemerintah Hindia Belanda pada tahun permulaan pendiriannya, telah menarik perhatian banyak kalangan. Berbagai pertemuan dilakukan, dan secara cepat berdiri cabang-cabang SDI di daerah dengan pusatnya di Buitenzorg (Bogor). Sebagai upaya untuk membangun ikatan serta persebaran informasi tentang tema-tema pergerakan itu, Medan Priyayi kembali menjadi penyambung warta bagi seluruh anggota sarekat.
Selain SDI Bogor yang mendapat pengesahan dari Pemerintah Hindia belanda pada tahun 1909. Di Surakarta sebelumnya telah berdiri Sarekat Dagang Islam (baca: SDI Surakarta). SDI Surakarta ini berdiri pada 16 Oktober 1905, dan dipimpin oleh H. Samanhudi, seorang pedagang batik dari Laweyan.
SDI Surakarta memang tidak mendapat pengakuan dari Pemerintah Hindia Belanda, dan ketika terjadi bentrokan antara pedagang Tionghoa dengan bumiputera, maka pemrintah Hindia Belanda melakukan penyelidikan terhadap masing-masing pihak itu. Pada masa inilah, Samanhudi meminta bantuan kepada Tirtoadhisuryo untuk membuat Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga (AD/ART) sebagai bukti bahwa SDI Surakarta adalah organisasi yang legal. SDI Surakarta berkembang pesat dan menarik perhatian berbagai jenis strata masyarakat bumiputera yang bergabung. Awalnya konsentrasi utama pergerakan SDI adalah mengamnkan kepentingan perdagangan bumiputera.
Hampir seluruh lapisan masyarakat bumiputera di luar pedagang, larut bergabung dalam keanggotaan sarekat. Seperti tujuan awal pembentukan SDI adalah untuk menyatukan seluruh bumiputera, maka SDI diubah namanya menjadi Sarekat Islam (SI). Perubahan nama SDI menjadi SI dengan menghilangkan kata “dagang” yang termaktub dalam nama perkumpulan serta Anggaran Dasarnya. Perubahan itu dilakukan pada 10 September 1912 di depan Akte Notaris Surakarta.
Seiring dengan meningkatnya perdagangan bumiputera, SI menyebar di berbagai wilayah Indonesia. Seperti halnya di Surabaya. Perkembangan SI Surabaya memainkan peranan penting dalam mengorganisir masyarakat dalam sebuah wadah perkumpulan bumiputera. SI Suarabaya dipimpin oleh H.O.S Tjokroaminoto, yang selanjutnya menjadi Hoofdbestuur (pimpinan besar) SI.
Semangat Gerakan Pan-Islamisme
Sampai pada abad ke-20, perkembangan Islam di Indonesia semakin tampak. Kuatnya arus perkembangan Islam ini adalah akibat dari proses menyebarnya gerakan Pan-Islamisme (kebangkitan Islam) yang datang dari Timur Tengah. Melalui gerakan inilah, semangat pembaruan Islam hadir dan mewarnai pemikiran masyarakat muslim bumiputera yang sebelumnya telah memluk agama Islam.
Semangat gerakan Pan-Islamisme yang ada di Timur tengah, hadir ke Indonesia dibawa oleh para haji yang datang setelah menunaikan ibadah haji di Mekkah. Dengan demikian, para haji yang telah bermukim di Mekkah menyaksikan betapa pentingnya wacana Islam dan politik internasional. Menjelang pertengahan abad ke-19, jumlah jamaah haji pada dekade 50-60-an mencapai 1600, pada 70-an mencapai 2600 dan pada 80-an mencapai 4600. Jumlah keseluruhan jamaah haji dunia pada tahun 1914 adalah 56.855 dengan 28.427 orang di antaranya merupakan jamaah haji asal Indonesia.
Sekembalinya mereka dari Mekkah, berbagai ilmu diajarkan kepada masyarakat setempat. Pengajaran umumnya dilakukan melalui pesantren. Semakin banyaknya haji yang datang ke kampung halaman, semakin banyak pula pesantren yang berdiri di berbagai daerah di nusantara. Kendati tidak semua haji mendirikan pesantren, akan tetapi haji mendapat posisi sosial yang tinggi sebagai orang yang dianggap saleh.
Bagi para haji yang mendirikan pesantren –umumnya disebut kyai-, mereka menjadi pembimbing bagi para muridnya –santri-. Kyai memiliki peran ganda dalam kehidupan sosial kemasyarakatan. Kyai menjadi pembimbing spiritual, baik bagi para santri maupun bagi masyarakat sekitar.
Pada prosesnya, wacana Pan-Islamisme semakin bersentuhan dalam ranah politik, sebagai upaya untuk memperjuangkan rakyat bumiputera yang tertindas oleh bentuk kolonialisme Belanda. Pada tahap inilah, Pan-Islamisme telah melebur dalam semangat perjuangan pembebasan melalui berbagai bentuk seperti pemberontakan, pergerakan organisasi modern, dan lain-lain.
Sikap-sikap pertentangan yang dilakukan oleh bumiputera terhadap Belanda, pada dasarnya dipengaruhi oleh banyak hal. Sikap sewenang-wenang Belanda terhadap bumiputera, serta yang paling penting adalah, proses kristenisasi. Kristenisasi justru menjadi salah satu program pemerintah kolonial yang saat itu diberlakukan oleh Gubernur Jenderal Idenburg tahun 1909. Diberlakukanya Kristenisasi di Indonesia adalah sebagai upaya untuk menekan laju perkembangan Islam di Indonesia.
Sebagai upaya untuk menekan laju kristenisasi, para kyai, haji, dan ulama membentuk perkumpulan sebagai wadah persatuan umat Islam bumiputera. Seperti halnya H. Samanhudi, H.O.S Tjokroaminoto, H. Agus Salim serta berbagai tokoh lainnya melalui organisasi Sarekat Islam (SI), mereka bergerak bersama bumiputera lainnya melawan bentuk-bentuk kolonialisme serta Kristenisasi yang dilakukan oleh Belanda. SI dalam perjuangannya juga dibantu oleh para tokoh beserta organ Islam lainnya seperti H. Achmad Dahlan dengan Muhammadiyah; K.H Wahab Hasbullah dan K.H Hasyim Asy’ari dengan Tswiful Anwar dan Nahdlatul Ulama (NU), serta berbagai tokoh dan organ Islam lain yang juga mendukung arah perjuangan SI. Selain itu jumlah haji yang bergabung dalam SI mencapai 10% dari keseluruhan anggotanya saat itu.
Persebaran SI di Berbagai Daerah
 Pergantian Gubernur Jendral yang semula dipegang oleh Joannes B. Van Heutz (1904-1909) dan digantikan oleh A. Willem Frederik Idenburg (1909-1916), memiliki keuntungan serta kerugian dalam pergerakan SI menjelang tahun 1916. Persebaran kekuatan SI menjadi perhatian khusus bagi Idenburg, perhatian tersebut berujung kepada pemberian persetujuan terhadap pengajuan SI sebagai organisasi legal. Pemberian legalitas kepada SI bukan berarti SI dapat secara bebas untuk melakukan berbagai kegiatan seperti yang diharapkan. Pasalnya SI dikenai regulasi untuk setiap pembentukan cabang SI di berbagai daerah, harus memiliki Anggaran Dasar masing-masing untuk disahkan sebagai organisasi yang legal. Artinya, SI harus mengubah sifat organisasinya yang sebelumnya terpusat dengan cabang-cabang di berbagai daerah, berubah menjadi sistem desentralisasi dengan setiap daerah memiliki kewenangan untuk memimpin kelembagaan SI-nya masing-masing.
Pengesahan terhadap SI beserta syarat-syarat kelembagaannya diterima oleh Tjokroaminoto sebagai Hoofdbestuur SI. Melihat kenyataan yang dapat mengganggu stabilitas SI, Tjokroaminoto mengamil keputusan untuk melaksanakan Kongres Nasional SI pertama di Bandung tanggal 17-24 Juni 1916. Kongres tersebut bertujuan untuk membentuk Central Serikat Islam (CSI). CSI dibentuk sebagai federasi dari berbagai SI lokal yang tersebar di seluruh nusantara. CSI secara struktural dipegang oleh Tjokroaminoto dengan berbagai variasi kepengurusan dalam setiap tahun pergantiannya.
Paska terbentuknya CSI, Tjokroaminoto melakukan kunjungan ke berbagai daerah untuk mengokohkan keberadaan SI. Selain Tjokroaminoto, berbagai tokoh penting SI juga melakukan hal yang sama, seperti halnya Raden Gunawan, Abdoel Moeis, dan Agus Salim. Raden Gunawan  memperkuat SI di wilayah Jawa Barat hingga Sumatera Selatan, Abdoel Moeis dan Agus Salim memperbesar pengaruh SI ke kampung halamannya Sumatera Barat. Selain mereka, masih banyak anggota SI lainnya. Salah satu anggota SI yang masih muda dan progresif muncul di Semarang, Semaoen itulah namanya. Semaoen sebelumnya aktif dalam Vereniging voor Spooren Tramweg Personeel (VSTP) dan tepat pada 6 Mei 1917 menjadi pimpinan SI Semarang.
Selain itu berbagai kebutuhan berkaitan dengan upaya peningkatan pengajaran umat Islam juga menjadi kebutuhan utama untuk diperjuangkan. Muhammadiyah sebagai organ bumiputera yang berkonsentrasi dalam bidang pendidikan serta pembaruan Islam, bersama-sama dengan SI turut memajukan pendidikan bagi bumiputera. Kebutuhan terhadap para guru serta berbagai panduan sistem pengajaran al-Qur’an muncul atas kesadaran umat Islam nusantara, juga sebagai program yang secepatnya harus direalisasikan untuk kemajuan Islam di nusantara.
Dengan besarnya kelembagaan SI, tahun 1916 dalam Kongres Nasional SI pertama di Bandung. Penggunaan istilah “nasional” menjadi tanda SI telah muncul sebagai sebuah perkumpulan bumiputera yang besar dan tersebar di seluruh Nusantara. Tjokroaminoto memandang sudah saatnya bumiputera untuk menentukan pemerintahannya sendiri seperti yang dicita-citakan, diungkapkannya dalam pidatonya dalam bahasa Belanda:
Wij hebben ons ras lief en met de kracht van de leer van onzen godsdienst (Islam) doen wij ons best om allen of het grootste gedeelte van onze bangsa een te maken, wij hebben lief het land, dat ons geboren zag en wij hebben lief het gouvernement, dat ons beschermt. Daarom zijn wij niet beschrood om op alles, wat eij denken goed te zijn, de aandacht te vestigen, en te vragen het geen wij denken dat ons ras, onzen geboortegrond en ons gouvernement zal kunnen verbeteren.
Kita mencintai bangsa kita dan dengan ajaran agama kita (Islam), kita berusaha sepenuhnya untuk mempersatukan seluruh atau sebagian besar bangsa kita. Kita mencintai negeri yang telah menyaksikan kelahiran kita, dan kita mencintai pemerintah yang melindungi kita. Maka dari itu kita pun tidaklah segan-segan untuk meminta perhatiaannya terhadap apa yang kita anggap baik, dan meminta segala sesuatu yang kita anggap dapat memperbaiki bangsa kita, tanah air kita, dan pemerintahan kita.
Tjokroaminoto pada dasarnya ingin menyampaikan cita-cita SI yaitu memiliki pemerintahan sendiri sebagai sebuah bangsa yang merdeka dan berdiri sendiri, bukan sebagai bangsa yang hidup di bawah tekanan kolonialisme Belanda.
Kerajaan Belanda menerapkan zelfbestuur bagi Hindia Belanda, suatu bentuk otonomi pemerintahan bagi teritori Hindia Belanda, atau desentralisasi kekuasaan kepada pemerintahan kolonial. Dampak diterapkannya zelfbestuur tersebut maka akan dibentuk Volksraad –parlemen, dewan rakyat- bagi daerah Hindia Belanda.
Salah satu pertimbangan yang melatar belakangi pembentukan Volksraad adalah situasi Belanda yang saat itu terlibat perang di Eropa. Upaya melunak yang diberlakukan oleh Pemerintah Hindia Belanda terhadap Indonesia adalah sebuah upaya agar bumiputera tetap mendukung kebijakan Belanda. Sebagai upaya untuk merealisasikan kompromi Belanda terhadap bumiputera di masa perang tersebut, Van Limburg Stirum sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda (1916-1920) memulai usaha pembentukan Volksraad.
Januari tahun 1918, pemilihan anggota Volksraad dilakukan. Beberapa nama masuk dalam penjaringan anggota yang dipilih oleh Pemerintah Hindia Belanda. Ketika 19 nama telah disetujui dan disahkan oleh Pemerintah Hindia Belanda, menjelang terbentuknya pada bulan Februari 1918, Stirum mengakomodir beberapa pihak bumiputera lainnya dan bergabung dengan ke-19 Anggota Volksraad lainnya. Beberapa nama yang masuk adalah Mangkunegara Prang Wedana, Tjokroaminoto, Dwijosewojo, Tjipto Mangunkoesoemo, dan M. Tajeb. Dengan demikian, Tjokroaminoto masuk sebagai anggota Volksraad pertama perwakilan dari SI.
Tahun 1918 krisis ekonomi membayangi daerah Jawa, sebagai akibat politik etis Belanda yang membuka investasi seluas-luasnya kepada pemodal, menyebabkan banyak munculnya industri,  salah satunya perkebunan tebu untuk memproduksi gula sebagai komoditas masa itu. Para pekerja dan buruh semakin tertekan karena perusahaan mengurangi upah pekerja, sebagai bentuk pengurangan biaya produksi akibat upaya rekonstruksi Belanda paska perang, ditambah berkurangnya pertanian sawah yang dikonversi menjadi petani tebu. Sehingga bahaya kelaparan dan krisis pangan mengancam penduduk bumiputera.
Tjokroaminoto menanggapi kondisi tersebut dan mengajukan usulan kepada Gubernur Jenderal agar pemerintah mengurangi jumlah tanaman tebu sebanyak 50%. Akan tetapi permintaan tersebut ditolak. Ditolaknya usulan Tjokroaminoto tetap tidak menyurutkan semangatnya untuk tetap mengupayakan agar tanaman perkebunan tebu dikurangi. Tahun 1919, ia kembali mengusulkan hal yang sama, akan tetapi dengan nominal yang lebih rendah menjadi 25%. Dasar tuntutan tersebut diajukan dengan pertimbangan tentang ancaman bahaya kelaparan di Jawa, sehingga SI berpendapat tanah yang digunakan untuk perkebunan tebu dikonversi kepada persawahan padi. Tuntutan ini diusulkan dalam sidang Volksraad tanggal 20 Februari 1919. Meskipun tuntutan dikurangi, tetapi usulan tetap ditolak. Ditolaknya usulan Tjokoroaminoto terkait dengan situasi bumiputera, akhirnya mengundang reaksi dari anggota SI lainnya. Salah yang menuntut agar perwakilan SI ditarik dari Volksraad.
Pertarungan Elit: Perebutan Pengaruh SI Putih dan Merah
Selain perdebatan tentang keterlibatan SI dalam Volksraad, pertentangan tentang menyikapi keinginan Pemerintah Hindia Belanda untuk membentuk Aksi Ketahanan Hindia (Indie Weerbaar Actie) sebagai bentuk antisipasi Pemerintah Hindia Belanda bila Perang Dunia I menyebar ke Asia Tenggara. Perdebatan muncul antara Abdoel Moeis dan Semaoen yang masing-masing berbeda pandangan melihat Indie Weerbaar Actie tersebut.
Tahun 1916 menjadi awal perpecahan SI, friksi tersebut dimulai ketika wacana keterlibatan SI dalam Volksraad digulirkan dan mendapat reaksi beragam dari internal SI. Pentolan SI Semarang, Semaoen, Darsono, Baars, dan kawan-kawan, melakukan aksi pengecaman terhadap kebijakan SI yang masuk ke dalam Volksraad. Hal tersebut seperti yang diungkapkan Semaoen:
Banyak kaoem bergerak menaroeh kepertjajaan besar pada kekoeasaanja komidi Volksraad, hal jang mana mengoerangkan kepertjajaan atas diri sendiri. Di dalam Volksraad pemerintah bisa taoe apa jang mendjadi pikirannja rakjat dan dengan pengetahoean itoe ia bisalah mengambil atoeran-atoeran jang tiada djadi sakit hatinja rakjat, sehingga napsoe peperasan bisa didjalankan teroes dengan menjingkiri rasa keberatannja rakjat. Maka dari itoe siapa jang soeka dingin kipasnja pemerintah dinamakan Volksraad, baiklah tidoer lagi senjenjak-njenjaknja.
Semaoen menggambarkan Volksraad sebagai komidi –komedi- atau lebih identik dengan lawakan, sandiwara, yang baginya tidak berdampak positif terhadap perjuangan bumiputera. Menurut Semaoen, perjuangan SI melalui Volksraad justru menunjukkan kalau Tjokroaminoto sebagai pimpinan SI, tidak anti terhadap bentuk-bentuk Kapitalisme Belanda. Kelompok Semarang yang terpengaruh ideologi sosialis-marxisme –atau lebih umum dikenal dengan Komunisme- pada dasarnya menginginkan SI bersikap lebih revolusioner dalam menghadapi sikap Belanda yang kapitalistik dan represif.  Selain itu pola pergerakan kelompok Semarang lebih mengarahkan untuk melakukan pembinaan terhadap buruh. Upaya perjuangan melalui buruh juga sangat berdasar, pasalnya karena kapitalisasi industri Belanda menyeret bumiputera dalam keterpurukan ekonomi, sosial, dan politik.
Kerasnya penolakan Semaoen terhadap pola pergerakan SI yang dianggap tidak nyata dalam memperjuangkan bumiputera, sangat tampak ketika kongres CSI tahun 1917, saat SI memberikan dukungan terhadap Indie Weerbaar Actie. Semaoen sebagai Ketua SI Semarang menyatakan “Kami tidak suka keluarkan darah untuk keperluan orang lain, apalagi keperluan Zondig Kapitalisme”. Alasan Semaoen mengecam kebijakan SI tersebut dikarenakan tujuan utama pembentukan Indie Weerbaar Actie adalah memperkuat pertahanan Hindia Belanda dari kekuatan Jepang yang mengancam Asia Tenggara, Indie Weerbaar Actie dianggap hanya menguntungkan orang-orang Belanda dan hanya sedikit bagi bumiputera. Belanda adalah penjajah, dan ingin tetap mengokohkan kekuasaannya di Nusantara melalui kapitalismenya. Dengan demikian istilah Zondig Kapitalisme zondig berarti dosa- yang ditujukan kepada Belanda menandai tidak seharusnya mendapatkan dukungan dari bumiputera, terutama SI.
Sosialisme merupakan salah satu ideologi besar dunia yang berkembang di abad ke-20. Sosialisme hadir di Indonesia dibawa oleh E.F.W. Douwes Dekker, H.J.F.M Sneevliet, Ir. A. Baars, dan Brigma. Douwes Dekker merupakan salah satu dari sekian banyak orang Belanda yang mendukung dilaksanakannya Politik Etis di Hindia Belanda. Dekker membentuk sebuah perkumpulan di Semarang dengan nama Semarangsche Keizervereeniging Club, organ ini adalah embrio Indische Partij (IP), yang didirikan pada 6 September 1912. Menjelang tahun 1913, asas organ tersebut ditolak oleh pemerintah kolonial dan akhirnya dibubarkan.
H.J.F.M Sneevliet, merupakan salah seorang propagandis komunis internasional yang berasal dari Belanda. Ia datang ke Indonesia sebagai pekerja kereta api di Surabaya, dan kemudian mendirikan Indische Sosialische Demokratie Vereenigging (ISDV). Ketika melihat perkembangan Komunisme di Semarang berkembang, ia memutuskan pindah ke Semarang.
Gagasan utama yang menjadi dasar ideologi Sosialisme adalah ajaran Karl Marx. Gagasan dasr Marxisme meliputi dua hal. Pertama, Teori Sosial, Marxis melihat bahwa susunan masyarakat pada zaman mana pun secara fundamental ditentukan oleh metode-metode produksi dan distribusi kekayaan. Berbagai lembaga serta gagasan yang ada dalam masyarakat pada dasarnya berfungsi untuk mempertahankan kepentingan kelas yang memiliki dan mengontrol alat-alat produksi atau bentuk utama kekayaan. Dengan demikian, kelompok atau kelas pemodal inilah yang menguasai struktur sosial untuk kepentingannya. Kedua, Filsafat Sejarah Marxis melihat bahwa perubahan masyarakat pada dasarnya bukan ditentukan oleh konflik gagasan seperti halnya pemikiran Friedrich Hegel, akan tetapi akan tetapi, peruabahan masyarakat ditentukan oleh konflik ekonomi, anatara kepentingan ekonomi kelas yang memerintah dengan kelas yang diperintah, pertarungan kelas sosial. Sederhananya, Komunisme menghendaki kepemilikan negara dalam hal semua kekayaan, termasuk di dalamnya, baik barang produksi maupun barang-barang konsumsi. Untuk mencapai perubahan tersebut, Komunisme menghendaki perubahan secara radikal dan revolusioner.
Gagasan Marxis sesuai dengan kondisi rakyat Nusantara saat itu yang sedang mengalami penindasan kelas oleh Pemerintah Kolonial Belanda, sehingga banyak aktivis SI yang terpengaruh konsep dan pola gerakan Komunisme, di antaranya Semaoen, Darsono, dan Tan Malaka dan lain-lain. Realitas sosial ini memunculkan berbagai kajian tentang Marxis sehingga pola gerakan SI –terutama SI Semarang- berubah lebih revolusioner. Gerakan revolusioner SI terwujud dalam bentuk aksi pendampingan dan pembentukan serikat buruh di berbagai industri.
Sebagai upaya menolak gerakan Indie Werbaar Actie, Semaoen sebagai pimpinan SI Semarang memutuskan untuk melakukan perjuangannya sendiri. Semaoen menggandeng para buruh untuk melakukan berbagai aksi pemogokan di berbagai daerah. ISDV dan VSTP menjadi penyokong perjuangan Semaoen tersebut. Pergerakan buruh yang dilakukan menjadi garda terdepan menentang semua kebijakan Pemerintah Hindia Belanda, gerakan ekstra parlementer yang dilakukan SI Semarang berlangsung selama tahun 1917-1918. Pada masa ini terjadi krisis ekonomi, yang disebabkan meningkatnya laju inflasi sebagai dampak dari Perang Dunia I. Inflasi ini menyebabkan penurunan nominal upah buruh dan meningkatnya harga barang.
Pemogokan adalah aksi yang dipilih oleh gerakan buruh yang dimotori SI Semarang untuk menekan para pemilik modal agar segera meningkatkan upah. Beberapa rangkaian pemogokan dilakukan, di antaranya pemogokan buruh pabrik perabotan, buruh cetak, buruh pabrik mesin jahit Singer, buruh bengkel mobil, buruh transportasi uap dan perahu. Masing-masing rangkaian pemogokan yang dipelopori SI Semarang meluas ke berbagai daerah, Batavia, Bandung, Surabaya, dan sebagainya.
Berhasilnya berbagai pemogokan yang dimotori oleh SI Semarang pimpinan Semaoen, akhirnya serikat pekerja di berbagai daerah mempercayakan kepemimpinan perserikatan buruh kepada SI Semarang. Semaoen tetap berkeyakinan bahwa model pergerakan ekstraparlementer dan radikal adalah metode efektif melawan Kolonialisme Belanda, Semaoen tetap bersikeras menolak sikap pembesar SI seperti Tjokroaminoto, Abdoel Moeis, dan lainnya dalam membawa arah pergerakan SI melalui Volksraad dan memberikan dukungan terhadap Indie Werbaar Actie.
Ketika terjadi perdebatan terhadap beberapa kebijakan SI. Tjokroaminoto sebagai Hoofdbeestuur SI menginisiasi mengakhiri konflik dalam Kongres ke-3 SI tahun 1918 di Surabaya. Masing-masing pihak kemudian menyepakati untuk membatasi pertentangan tersebut dalam konteks keorganisasian dan bukan atas nama pribadi. Dalam kongres tersebut, Tjokroaminoto dan Moeis tetap dipercaya sebagai pimpinan serta wakil pengurus pusat CSI. Dalam kongres ke-3 keputusan kongres menyatakan dukungan terhadap aksi pemogokan buruh.
Keputusan kongres-3 akhirnya dipertegas dalam Kongres ke-4 tahun 1919, yaitu menghasilkan keputusan untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia, dam ketika Indonesia merdeka, federasi buruh akan berperan sebagai kamar pertama, sedangkan partai-partai politik berperan sebagai kamar kedua. Selain itu dalam kongres ini juga disepakati dilakukannya restrukturisasi dan pembentukan Perkumpulan Pergerakan Kaum Buruh (selanjutnya disebut PPKB) sebagai federasi dari organ buruh di Indonesia dengan diketuai oleh Semaoen, wakil ketua Suryopranoto, dan sekretaris H. Agus Salim.
Suryopranoto sebagai wakil ketua PPKB yang juga terpilih sebagai wakil ketua CSI dalam Kongres ke-4 mendampingi Tjokroaminoto mengusulkan agar Jogjakarta dijadikan sebagai pusat kedudukan gerakan PPKB. Usulan tersebut ditolak oleh Semaoen yang menganggap bahwa wacana itu berindikasi untuk menarik kantong-kantong pergerakan buruh di bawah kendali Tjokroaminoto Cs. Karena itu kemudian Semaoen menarik kedudukan PPKB ke Semarang dengan dalih, bahwa ketua memiliki wewenang untuk menentukan kedudukan pusat dari pergerakan buruh tesebut.
Berbagai pertentangan yang dilakukan oleh Semaoen Cs terkait kebijakan SI, menyebabkan posisi Tjokroaminoto terpojok sebagai Hoofdbestuur CSI. Pola diplomasi dan kemampuannya dalam mempengaruhi massa dilakukan oleh Tjokroaminoto dalam Kongres ke-3 CSI dalam pidatonya:
Yang kita inginkan adalah: sama rasa, terlepas dari semua perbedaan agama. CSI ingin mengangkat persamaan semua ras di Hindia sedemikian rupa sehingga mencapai (tahap) pemerintahan sendiri. CSI menentang kapitalisme, CSI tidak akan mentolerir dominasi manusia terhadap manusia lainnya. CSI akan bekerja sama dengan siapa saja yang mau bekerja demi kepentingan ini. CSI menginginkan pendidikan sehingga orang dapat bersuara dan menyumbang pada kesejahteraan Hindia. Pemerintahan sendiri yang suatu saat harus ada di Hindia, harus melibatkan partisipasi yang sama seperti pemerintahan sendiri di negeri Eropa. Tidak boleh ada komedi.
Diplomasi Tjokroaminoto pada prinsipnya ingin menarik simpati anggota SI untuk mendukung perjuangan di dalam Volksraad. Bagaimanapun juga, ajakan kepada semua anggota SI itu terganjal oleh meningkatnya eksistensi Semaoen dalam mengorganisir para buruh melawan Kapitalisme Belanda. Sebagai upaya untuk menarik simpati tersebut, Tjokroaminoto juga menyerukan tuntutan yang sama seperti yang diinginkan oleh pengikut Komunisme serta kembali menghimbau dukungan para anggota SI dalam perjuangan di Volksraad.
Posisi Tjokroaminoto semakin sulit ketika orang-orang Arab dan keturunan menarik diri dari SI dan berhenti menjadi penyokong pendanaan surat kabar Otoesan Hindia –surat kabar milik Sarekat Islam-. Untuk mengembalikan dukungan orang-orang Arab dan keturunan, Tjokroaminoto bergabung dengan al-Irsyad di Surabaya untuk kembali menegaskan bahwa SI masih memperjuangkan berbagai kepentingan umat Islam dan menjadikan Islam sebagai garis perjuangan.
Menjelang tahun 1920, kegagalan beberapa aksi pemogokan yang dipimpin oleh Semaoen, menjadi alasan bagi Suryopranoto dan Agus Salim untuk menarik kedudukan PPKB dari Semarang ke Yogyakarta. Penarikan ini menandai dicabutnya dukungan Tjokroaminoto terhadap pola pergerakan Semaoen dan SI Semarang. Tjokroaminoto menilai kegagalan pemogokan tersebut, ditengarai oleh masuknya peran-peran propaganda Komunis yang berlebihan dalam menentukan arah gerakan buruh. Tjokroaminoto bersama Agus Salim dan Moeis serta organ Serikat Pekerja Pegadaian yang berada di bawah kendali Tjokroaminoto Cs,  bagian dari organ PPKB kemudian melakukan proteksi terhadap arus Komunisme.
Ditariknya PPKB ke Yogyakarta, sangat memukul Semaoen sebagai Ketua PPKB. Penarikan posisi PPKB ke Yogyakarta tidak dapat ditolak, sebagai bagian dari kebijakan CSI. Akan tetapi Semaoen kemudian mengajukan usulan kepada Tjokroaminoto untuk membantu para buruh yang dipecat akibat kegagalan pemogokan. Permintaan tersebut diterima oleh Tjokroaminoto dengan membentuk Komite Derma untuk memberikan bantuan dana kepada buruh pabrik yang dipecat akibat kegagalan aksi pemeogokan
Setelah pembentukan Komite Derma di Yogyakarta, akhirnya Tjokroaminoto Cs mengamankan dan menarik berbagai organ buruh yang berada di bawah kendalinya. Sementara Semaoen menarik ISDV dan VSTP serta berbagai organ buruh pengikutnya dari PPKB, berkonsentrasi di Semarang. Akhirnya Tjokroaminoto sebagai Hoofdbestuur CSI membubarkan sepihak PPKB.
Sejak perselisihan inilah tensi konflik internal SI kembali meningkat, dan memunculkan friksi tajam dengan adanya Faksi Islam yang diusung oleh Tjokroaminoto Cs dengan Faksi Komunis yang diusung oleh Semaoen Cs, -dikenal dengan istilah SI Putih vs SI Merah-. Masing-masing berupaya menunjukkan eksistensinya dalam pola pergerakan masing-masing dengan identitas ideologis yang berbeda antara Islam dan Komunis.
Terlepas dari friksi yang terjadi di internal SI. Aksi-aksi progressif yang dilakukan oleh SI dan sayap buruhnya PPKB, mendapatkan perhatian khusus dari Pemerintah Hindia Belanda. Dalam industri gula, para sindikat gula (Suiker Syindicat) merasa tersinggung dengan usulan Tjokroaminoto terhadap pengurangan 50%-80% tanah perkebunan tebu. Kekhawatiran para sindikat gula dikarenakan Tjokroaminoto memiliki massa yang tidak dapat diremehkan. Ditambah dengan pemogokan diberbagai daerah yang dimotori oleh PPKB.
Sebagai upaya untuk menekan aksi SI, sindikat gula yang juga tergabung dalam Personil Economics Bond (PEB), memulai operasi untuk melemahkan SI dengan mempelopori pembentukan berbagai organ gerakan rakyat dalam menandingi keberadaan dan pengaruh SI dalam masyarakat. PEB membentuk organ dari berbagai corak masyarakat bumiputera, seperti Sarekat Hedjo yang bercorak kejawean, Pamitran di Bandung, Sarekat Pompa di Cimahi, Tolak Bahla Towil Umur di Tasikmalaya dan Garut, serta organ yang bercorak Islam yaitu Jamiatul Hasanah, Jamiatul Mutiin, dan Ahlu Sunnah Wal Jamaah. Sistem perekrutan para anggotanya, dilakukan dengan cara memberikan gaji bagi siapapun yang bergabung, dan setelah ditelusuri sumber pendanaan organ-organ tersebut berasal dari PEB.
Pergantian Gubernur Jendral dari Limburg Stirum (1916-1918) kepada Dirk Fork, mengubah sikap Pemerintah Hindia Belanda terhadap setiap pergerakan yang ada. Berbagai aksi pemogoka yang dilakukan oleh serikat buruh –dimotori oleh SI- dianggap menciderai rust en orde (keamanan dan ketertiban), dan upaya merongrong Pemerintah Hindia Belanda. Dirk Fork menerapkan sikap represif terhadap setiap aksi politik yang ada, dengan membentuk satuan khusus (intelijen) yang dijalankan oleh kepolisian Hindia Belanda. Selain itu Dirk Fork mencabut izin melakukan Vergadering (perkumpulan).
Awalnya Kongres ke-5 CSI yangakan dilaksanakan pada tahun 1920 terpaksa gagal dilaksanakan akibat banyaknya aktivis SI yang ditahan sehingga Kongres dilaksanakan pada tahun 1921. Arah pembicaraan dalam kongres mengenai ideologi pergerakan. Masing-masing faksi bersikukuh dengan pola perjuangan berdasarkan ideologi masing-masing. Darsono dan kawan-kawan sebagai perwakilan SI Semarang –Semaoen sedang berada di Rusia- tetap bersikukuh dengan Komunisme, sedangkan Agus Salim, Abdoel Moeis, dan Suryopranoto –Tjokroaminoto sedang dipenjara dengan tuduhan terlibat pelanggaran rust en orde- juga tetap pendirian dengan Islam sebagai ideologi dan cita dasar perjuangan dalam mewujudkan cita-cita Indonesia merdeka.
Kelompok SI Semarang tegas menolak Islam sebagai dasar pergerakan serta menolak diterapkannya Islam dalam wilayah politik. Islam dianggap tidak cekatan dalam merespons perubahan serta terlalu lemah dalam melakukan perlawanan terhadap Pemerintah Hindia Belanda. SI Semarang tidak lagi menempatkan Islam sebagai garis politik, Islam hanya sebatas agama.
Pergerakan SI Semarang yang berpijak pada dua kaki, tidak dapat diterima baik oleh kalangan SI di bawah kontrol Tjokroaminoto yang pada saat itu terpusat di Yogyakarta. SI Semarang yang mengusung dasar ideologi Komunisme, semakin memperlihatkan adanya sifat sekularitas dalam hal agama dan politik. Dengan demikian, terdapat perbedaan pandangan di kedua pihak tentang penempatan agama dan politik dalam mewujudkan cita-cita perjuangan.
Model ideologi Komunis yang demikian sangat bertentangan dengan ide dan gagasan Tjokroaminoto dan Agus Salim. Tjokroaminoto dan Agus Salim tetap mempertahankan Islam sebagai dasar pergerakan. Islam merupakan sebuah agama sekaligus ideologi yang mengatur semua hal tanpa terkecuali. Tjokroaminoto dan Agus Salim menjelaskan, bahwa Islam menjadi fondasi nasionalisme kebangsaan Indonesia.
Perdebatan terus berlanjut, dan tidak menemukan titik persamaan di antara keduanya. Untuk menghindari perselisihan lebih lanjut, sedangkan perjuangan yang nyata adalah melawan bentuk-bentuk Kolonialisme Belanda harus segera direalisasikan. Perdebatan panjang, akhirnya semakin mempertegas keinginan Agus Salim, Abdoel Moeis, dan Suryopranoto untuk segera mengakhiri kebersamaannya dengan SI Semarang dengan cara mengesahkan disiplin partai yang juga telah disepakati peserta kongres lainnya. Pihak SI Semarang yang telah menduga hasil keputusan tersebut tetap tenang dan menerima hasil keputusan.
Disiplin partai menjadi keputusan yang tidak dapat ditolak dan harus dilakukan, karena telah menjadi keputusan kongres. Yang dimaksud dengan disiplin partai adalah memberikan kesempatan untuk memilih salah satu lembaga bagi anggota SI yang sebelumnya memiliki keanggotaan ganda dengan PKI.
Termotivasi dengan keberhasilan Revolusi Rusia, Sneevliet menarik ISDV menjadi sebuah organ yang lebih radikal. 23 Mei 1920, secara resmi ISDV berubah menjadi Partai Komunis Indonesia (selanjutnya disebut PKI), sejak terbentuknya PKI dan pecahnya SI, anggota SI yang berhaluan Komunis kemudian bergabung sepenuhnya kepada PKI.

Agus Salim dan Moeis menerakan disiplin partai dalam SI untuk mengurangi dan menghilangkan unsur Komunis yang telah menyebar dalam SI Semarang dan beberapa SI afiliasinya. Beberapa kelompok yang mengambil sikap keluar dari SI karena memiliki keanggotaan ganda adalah SI Semarang, serta SI Kudus, Ambarawa, dan Sukabumi yang sebelumnya masuk dalam kelembagaan ISDV. Penerapan disiplin partai tersebut, secara tegas memisahkan ideologi Islam dengan ideologi Komunis yang juga memisahkan pusat organ pergerakan masing-masing ke Yogyakarta dan Semarang.

0 Coment:

Posting Komentar